Merantau dalam Budaya Minangkabau: Filosofi, Tradisi, dan Perjuangan Hidup

$rows[judul]

Dt. Mangkuto Alam


FILOSOFINEWS.COM, MAKASSAR – Berpindah dari tempat asal, di mana seseorang dibesarkan menuju tanah rantauan untuk memulai kehidupan baru dan mencari pengalaman baru yang sering di sebut merantau merupakan langkah maju yang diambil oleh sebagian orang, berbeda dengan mereka yang memilih tetap tinggal di kampung halaman. Perjuangan hidup di kota orang bukanlah hal yang mudah dan tidak dapat diambil oleh sembarang orang. Oleh karena itu, banyak yang merasa bangga dengan julukan "ANAK RANTAU"

Merantau berarti secara tidak langsung siap menghadapi risiko dan tanggung jawab yang harus dipikul sendiri. Memutuskan untuk keluar dari zona nyaman memang merupakan tantangan besar, namun menjalani hidup di perantauan akan mengajarkan arti sejati dari tekad dan semangat yang kuat dalam menghadapi kehidupan.

Merantau dalam budaya Minangkabau (Sumatera Barat) telah menjadi tradisi yang mengakar dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan pribadi maupun sosial. Bahkan, mungkin tidak ada satu pun kota di Indonesia  yang tidak memiliki warga Minangkabau, atau setidaknya keturunan mereka  yang berasal dari Minangkabau.

Merantau merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya Minangkabau. Banyaknya suku Minangkabau yang pergi ke negeri orang untuk mencari pengalaman, pengetahuan, dan peruntungan. Jauh dari kampung  halaman, mereka berjuang dan bertahan hidup demi mencapai tujuan yang diinginkan.

Setelah bertahun-tahun merantau, mereka kembali dengan membawa segudang wawasan dan ilmu pengetahuan baru, yang tidak hanya bermanfaat bagi diri mereka sendiri, tetapi juga dapat digunakan untuk kemajuan kampung halaman (Ranah Minang).

Merantau bagi masyarakat Minangkabau bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga mengandung makna dan filosofi yang mendalam. Faktor utama mengapa banyak orang Minangkabau merantau adalah karena merantau merupakan adat dan tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat Minangkabau. Salah satu pepatah terkenal Minangkabau mengatakan, "Karatau madang di hulu, babuah babungo balun. Ka rantau bujang dahulu, di rumah baguno balun." Artinya, " Karatau masak di hulu(pangkal), berbuah berbunga belum, Ke rantau anak dahulu, di rumah berguna belum."  Pepatah ini mengandung makna bahwa setiap anak  harus memberikan manfaat bagi keluarga dan masyarakat. Jika belum dapat melakukannya, maka sang anak dianjurkan untuk mencari ilmu dan pengalaman di perantauan. Filosofi ini menjadi salah satu pendorong kuat bagi masyarakat Minangkabau untuk merantau.

Pepatah bijak Minangkabau, "Iduik bajaso, mati bapusako" (Hidup berjasa, mati berpusaka), mencerminkan tujuan filosofis dari merantau. Dalam konteks ini, "hidup berjasa" berarti memberikan kontribusi positif selama merantau, sementara "mati berpusaka" menggambarkan warisan nama baik yang akan dikenang selamanya.

Filosofi merantau ini dapat dipahami sebagai komitmen untuk memberikan manfaat kepada masyarakat dan meninggalkan warisan yang berguna. Konsep ini juga memperkuat nilai-nilai keberanian, keuletan, dan kegigihan dalam menghadapi kehidupan.

Falsafah hidup "Alam Takambang Jadi Guru" mencerminkan kemampuan masyarakat Minangkabau untuk beradaptasi dengan berbagai lingkungan yang berbeda dari kampung halaman mereka. Meskipun jauh dari tanah kelahiran, mereka tetap menjaga dan mempertahankan nilai-nilai budaya serta falsafah hidup yang telah diwariskan.

Merantau bukan hanya tentang mencari harta atau ilmu, melainkan juga sebuah pengorbanan dan ujian jiwa. Kaum lelaki Minangkabau yang merantau dengan bekal terbatas diharapkan dapat menempa jiwa, kegigihan, dan ketangguhan mereka dalam menghadapi kehidupan yang keras dan jauh dari kampung halaman. Dengan demikian, makna dan filosofi merantau bagi orang Minangkabau bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga perjalanan menuju pertumbuhan pribadi dan kontribusi yang berarti bagi masyarakat serta bangsa.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)