Perpisahan Dt. Toembidjo Dibalut Isak Keluarga Besar IKM Sapayuang

$rows[judul]

Filosofinews.com., Makassar (20/07) - Hanya berselang sehari setelah malam penuh haru bertajuk "Bapisah Bukannyo Bacarai", keluarga besar Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) Sapayuang Sulawesi Selatan kembali menunjukkan kekompakan yang tak lekang oleh waktu. Sore itu, langit Makassar tak begitu cerah. Mentari seolah redup lebih awal, seperti tahu bahwa hari itu adalah hari perpisahan yang tak biasa. Di ruang keberangkatan Bandara Sultan Hasanuddin, waktu terasa melambat. Ada getar yang menggantung di udara, seolah-olah semesta ikut mengheningkan langkah.


Sejak pukul 16.00 WITA, satu per satu wajah yang akrab berkumpul di pelataran terminal. Mereka datang bukan hanya sebagai kawan atau kolega—mereka datang sebagai keluarga. Warga Minangkabau dari seluruh penjuru Makassar, para tokoh dan pemuka adat, berkumpul dengan satu tujuan: mengantarkan Dt. Toembidjo, tokoh yang telah menorehkan jejak pengabdian dan kasih, menuju penerbangan terakhirnya dari tanah rantau—bukan ke akhir, tapi ke babak baru yang lebih luas.

Hadir dalam rombongan penghantar: Ketua Umum IKM Sapayuang, Ir. H. Akmal Mustafha bersama istri yang tampak menahan haru, Zainal Sutan Parmato, GM Restoran Sederhana, bersama istri dan anaknya, Ketua I dan II IKM Sapayuang: Afrizal Pono Sutan dan Roni Oktafianto, S.E., Katik Bandaro bersama istri dan anak, Bendahara IKASMIN-SS Hendri Sutan Pado, Sekretaris Jenderal IKASMIN-SS, Sekretaris Jenderal IKASMIN-SS Isnaini Al Ihsan, S.H., Dt. Mangkuto Alam yang juga Niniak Mamak Minangkabau, serta tercatat sebagai salah satu Dewan Pembina IKM Sapayuang hadir bersama istri dan keponakan beliau. 

Tak hanya itu, beberapa perwakilan dari Dewan Pembina lainnya juga hadir, sebagai bentuk kasih yang tak bisa diwakili kata. Dari jajaran Datun Kejati Sulsel tempat beliau mengabdi, tampak hadir Kasi PH, Bambang Eka Jaya, bersama sejumlah rekan sejawat yang diam dalam hening, memberi hormat dalam diam yang dalam.


Ruang tunggu yang sengaja dipesan oleh Alif Usman Amin, Direktur Operasional PT KIMA, bukan sekadar tempat transit ia berubah menjadi surau kecil penuh kenangan. Di sana, cerita-cerita lama diputar kembali, diselingi tawa getir, peluk hangat, dan mata-mata yang mulai memerah.

Menjelang waktu Maghrib, langkah kaki mengajak semua keluar ruangan untuk sesi foto bersama. Dan tepat saat langit melemparkan cahaya terakhirnya, Kolonel Inf. Indra Kurnia, S.Sos., M.Si., selaku Dewan Pengawas IKM Sapayuang, turut hadir menyempurnakan lingkaran yang memagari kepergian ini.

Saat itu, waktu seperti ikut tersedu. Tak satu pun mata yang kering. Peluk terakhir menjadi panjang, salaman menjadi genggaman yang enggan lepas. Beberapa menunduk, beberapa tak sanggup bicara. Yang terdengar hanya isak halus yang saling bersahutan.

Dt. Mangkuto Alam, sahabat seperjuangan, sesama Niniak Mamak, memeluk erat tubuh yang sebentar lagi akan lepas dari tanah ini. Dengan suara bergetar, beliau berucap lirih, namun menghujam dalam:

"Kami baralek malam patang, kini kami bararak ke bandara. Tapi hati kami masih menetap di belakang langkah angku. Walau angku pergi untuk tugas yang lain, rumah ini akan selalu merindukan kehadiran angku. Hati kami bertabur rindu, tapi kami lepaskan dengan doa, semoga angku menjadi cahaya di mana pun angku berpijak."


Dan seperti itu, dalam pelan yang hening, Dt. Toembidjo melangkah masuk ke ruang boarding. Diiringi Alif Usman Amin, sahabat dekat sekaligus saudara seperjuangan, beliau menoleh sesaat, tersenyum kecil, sebelum hilang di balik pintu kaca yang mengantar ke pesawat.

Warga IKM Sapayuang berdiri lama. Tidak satu pun langsung beranjak. Seolah berharap waktu berbalik, atau pesawat tertunda, walau satu jam saja. Tapi takdir berjalan sebagaimana mestinya.

Malam itu, mereka pulang dalam diam. Di dalam dada, ada ruang kosong yang baru saja ditinggal pergi. Tapi juga ada kebanggaan besar—bahwa mereka pernah berjalan bersama sosok sebijak Dt. Toembidjo.

Perpisahan ini bukanlah sebuah akhir. Ini hanyalah titik koma, dari kisah panjang yang akan terus hidup dalam ingatan dan doa. Sebab cinta yang tulus tak pernah mengenal kata “selamat tinggal”—ia hanya tahu satu kata: menunggu untuk bertemu lagi.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)