Bapisah Bukannyo BacaraiDt. Toembidjo Dilepas dalam Malam Penuh Haru dan Hormat

$rows[judul]

Filosofinews.com., Makassar (19/07) - Pada malam yang hangat dan penuh getar makna, di Ballroom Swiss-Belinn Panakkukang Makassar, Jumat malam 18 Juli 2025, digelar sebuah malam penuh penghormatan: “Bapisah Bukannyo Bacarai” — sebuah tema yang bukan sekadar rangkaian kata, tapi ungkapan jiwa dari perpisahan yang sarat makna dan pengabdian.

Malam itu, H. Ferry Taslim., S.H., M.Hum., M.Si., yang dikenal dalam ranah adat sebagai Dt. Toembidjo, dilepas secara adat dan kehormatan oleh keluarga besar IKM Sapayuang, kolega lintas sektor, dan para sahabat dari berbagai penjuru jejaring. Ia akan mengemban amanah baru sebagai Koordinator Jaksa Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) di Kejaksaan Agung Republik Indonesia, setelah menuntaskan tugasnya sebagai Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejati Sulsel.

Malam itu bukan sekadar seremoni — ia menjelma jadi peristiwa budaya. Dalam satu ruang, dua imperium kebudayaan besar Nusantara, Minangkabau dan Bugis-Makassar, berkolaborasi dalam harmoni yang memesona. Busana adat Minang dan Bugis berbaur dalam keanggunan, diiringi tari-tarian sakral dari dua ranah kebesaran.

Sejak para tamu mulai berdatangan, suasana hangat tercipta. Lagu-lagu Minang mengalun lembut, diselingi penampilan Tari Indang yang membangkitkan semangat batin. Di sisi lain, jamuan makan malam menjadi momen silaturahmi, mempererat ikatan, menyatukan rasa, menyulam kenangan.

Yang istimewa malam itu, menu khas Minangkabau turut dihadirkan sebagai penghormatan kepada tamu. Cancang Kambiang — sajian daging kambing cincang berempah khas ranah Minang — menjadi menu spesial yang disuguhkan kepada para undangan, memperkuat nuansa kampung halaman dalam suasana perantauan. Tak hanya itu, Kepala Kambing disajikan sebagai Kapalo Jamba, sebuah simbol kehormatan yang secara adat diperuntukkan kepada tamu utama — mengandung makna penghormatan tertinggi dalam tradisi Minangkabau.

Acara ini juga menjadi momen istimewa karena turut dihadiri oleh keluarga terdekat Dt. ToembidjoMamak dan Etek, sebagai sosok pilar adat dan kasih sayang yang membentuk jati dirinya. Sang istri tercinta, bersama dua buah hati mereka, juga tampak hadir menyatu dalam hangatnya kebersamaan. Sorot mata penuh bangga, senyum haru, dan peluk hangat keluarga menjadi pelengkap yang memperkaya makna peristiwa ini.

Hadir pula para tokoh lintas profesi dan lintas generasi — dari unsur Forkopimda, pejabat pemerintah daerah, akademisi, tokoh adat, budayawan, hingga pengusaha dan aktivis sosial budaya, serta organisasi Minangkabau di rantau. Semua bersaksi, betapa jejaring yang dibangun Dt. Toembidjo bukan sekadar formalitas, tapi jembatan nilai dan kebermanfaatan.

Acara dibuka dengan Tari Pasambahan Minangkabau yang megah dan menggema, seolah menjadi penyambut langkah dan restu dari alam budaya asalnya. Suasana semakin khidmat ketika H. Maulana Sati, M.Ag., dari Dewan IKM Sapayuang, memimpin pembacaan doa — memohonkan berkah dan kemuliaan bagi perjalanan pengabdian selanjutnya.

Sambutan demi sambutan mengalir, dimulai dari Kol. Inf. Indra Kurnia, S.Sos., M.Si, selaku Dewan Pengawas IKM Sapayuang, dilanjutkan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, Drs. H. Jufri Rahman, M.Si, dan diakhiri oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel, Agus Salim, S.H., M.H., yang menyampaikan rasa bangga dan apresiasi atas dedikasi dan integritas Ferry Taslim selama bertugas di Sulsel.

Sebuah video dokumenter singkat ditayangkan — menelusuri jejak langkah pengabdian Ferrytas, dari bilik hukum hingga jejak keberpihakan pada masyarakat kecil, dari ruang sidang hingga ruang-ruang sunyi tempat keadilan diperjuangkan. Tak sedikit air mata jatuh, tak karena sedih, tetapi karena bangga.

Dan saat yang paling ditunggu tiba: Dt. Toembidjo berdiri, menyampaikan pesan dan kesan. Suaranya tenang, namun sarat getar makna. Ia berbicara bukan sebagai pejabat, tetapi sebagai anak nagari — yang datang membawa amanah, dan pulang membawa kenangan serta restu.

Lalu, dalam suasana yang telah larut dalam emosi dan adat, tampil Dt. Mangkuto Alam, seorang Niniak Mamak yang dirantaukan, menyampaikan “setangkai kesan dan serumpun pesan”:

“Anging Mammiri akan mengusung namamu tinggi di langitnya — menyampaikannya hingga ke cakrawala, sebagai kabar bahwa pernah hadir di sini seorang anak nagari Minangkabau yang tak sekadar singgah, tapi menorehkan baktinya dengan hati yang penuh dan jiwa yang utuh. Tanah Daeng takkan pernah mampu menghapus jejakmu — di sini pernah hadir seorang putra rantau: yang datang membawa adat, mengabdi sepenuh niat, dan pergi meninggalkan nama yang akan terus disebut dalam hormat. Dan IKM Sapayuang, akan menjaga kisahmu bak Pusako Tinggi — sebagai lembaran penting dalam manuskrip sejarah emasnya, yang tak lekang oleh waktu, dan tak pudar oleh jarak.”

Puncak malam ditutup dengan ramah tamah dan sesi foto bersama, dalam balutan hangat kebersamaan. Tak ada air mata perpisahan yang jatuh, karena semuanya sepakat: bapisah bukannyo bacarai — berpisah bukan berarti berakhir. Ini hanyalah jeda dari pengabdian yang lebih besar, dan setiap nama yang ditinggalkan, akan tetap hidup dalam hormat dan kenangan.

Malam itu bukan hanya tentang pelepasan tugas, tapi tentang merayakan jejak seorang pemimpin yang telah menanamkan arti dalam setiap langkahnya. Dan bagi masyarakat Sulsel serta perantau Minangkabau di bumi Anging Mammiri, nama Dt. Toembidjo akan tetap abadi — sebagai cahaya yang pernah bersinar di persimpangan sejarah.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)