Menyelami Kearifan Falsafah Minangkabau: Alam Takambang Jadi Guru

$rows[judul]

Filosofinews.com., Makassar (03/04) - Minangkabau dikenal sebagai tanah yang kaya akan keindahan alam. Hamparan pegunungan, sawah hijau, kebun subur, sungai jernih, bukit, dan lembah dapat dengan mudah ditemui di ranah Minang. Keindahan dan keluasan alam inilah yang menjadi sumber inspirasi lahirnya falsafah hidup masyarakat Minangkabau: "Alam Takambang Jadi Guru". Artinya, alam yang terbentang luas dijadikan sebagai sumber ilmu dan pedoman hidup.

Falsafah ini mengajarkan bahwa semua unsur di alam memiliki peran dan fungsi masing-masing, saling berhubungan namun tidak saling membelenggu, saling bersinggungan tapi tidak saling menghancurkan. Mereka hidup berdampingan dalam harmoni yang dinamis, mengikuti hukum sebab-akibat yang dalam budaya Minangkabau disebut bakarano bakajadian.

Contohnya, sinar matahari yang panas bisa ditahan oleh rimbunnya pepohonan, menciptakan kesejukan di bawahnya. Ini menggambarkan bahwa walau matahari dan pohon tampak "berbenturan", mereka tetap menjalankan fungsi masing-masing tanpa meniadakan satu sama lain.

Falsafah ini tercermin pula dalam pepatah Minang:

Api mambaka, aie mambasahi, tajam malukoi, runciang mancucuak, gunuang bakabuik, lurah baraie, lawik barombak, bukik barangin.
(Api membakar, air membasahi, benda tajam melukai, benda runcing menusuk, gunung berkabut, jurang berair, laut berombak, bukit berangin).

Pepatah ini menjadi pengingat bahwa alam memiliki kekuatan dan karakter masing-masing, sehingga manusia harus bersikap bijak dan hati-hati dalam menghadapinya.

Menerapkan falsafah "Alam Takambang Jadi Guru" berarti memahami makna yang terkandung dalam setiap fenomena alam. Unsur-unsur seperti air, angin, api, dan tanah bukan hanya elemen fisik, tapi juga sarat dengan nilai dan pelajaran hidup. Setiap kejadian alam bisa diambil sebagai hikmah untuk dijadikan prinsip dalam kehidupan sosial.

Belajar dari alam juga selaras dengan ajaran Islam. Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya menuntut ilmu sepanjang hayat, sebagaimana sabdanya: "Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat", dan juga pepatah bijak: "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina."

Belajar dalam konteks ini bukan sekadar mengetahui, tapi juga mengamalkan. Seperti dalam pepatah Minangkabau:

Panakiak pisau siraut, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak ka niru, nan satitiak jadikan lauik, nan sakapa jadikan gunuang, alam takambang jadi guru.

Pepatah ini mendorong manusia untuk menyelidiki, membaca, dan memahami hukum-hukum alam sebagai bagian dari sunnatullah, serta terus menggali pengetahuan hingga menemukan jawaban yang bermanfaat dalam kehidupan.

Lebih dari sekadar kearifan lokal, falsafah ini juga mencerminkan ketaatan masyarakat Minang kepada Allah SWT. Alam yang indah adalah bentuk rahmat terbesar dari-Nya, dan karenanya harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dalam adat Minangkabau, hal ini terangkum dalam prinsip:

Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah,
yang berarti adat bersumber dari syariat, dan syariat bersumber dari Al-Qur’an.

Al-Qur’an sendiri banyak mengajak manusia untuk meneliti alam semesta sebagai bentuk refleksi atas kebesaran dan kekuasaan Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:

"Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi..."
(QS. Yunus: 101)

"Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam..."
(QS. Luqman: 29)

"Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu..."
(QS. An-Nahl: 12)

Melalui pemahaman terhadap alam, manusia bisa memperoleh ilmu yang berguna, menemukan solusi atas tantangan hidup, serta memahami tanda-tanda kebesaran Allah yang tersembunyi.

Kesimpulan

Falsafah "Alam Takambang Jadi Guru" mengajarkan bahwa belajar tidak hanya dari manusia dan buku, tetapi juga dari alam semesta. Dengan merenungkan ciptaan Tuhan, manusia tidak hanya memperkaya ilmu pengetahuan, tetapi juga memperkuat keimanan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Inilah warisan kearifan lokal Minangkabau yang sangat relevan untuk terus dijaga dan diterapkan di era modern ini.

Referensi

  • Darwas, D. Dt. Rajo Malano. Filsafat Adat Minangkabau. Yayasan Lembaga Studi Minangkabau.

  • Navis, A.A. Alam Terkembang Jadi Guru. PT. Grafiti Pers, 1984.

  • Syur'aini. “Pemanfaatan Falsafah Alam Takambang Jadi Guru Dalam Membangun Masyarakat Berpendidikan.” Seminar Internasional Konseling Lintas Budaya, 2019. UNP Repository. (Diakses 11 September 2021).

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)