Filosofinews.com., Makassar (08/04) – Sejarah penyebaran Islam di Sulawesi Selatan kembali menemukan gaungnya melalui peran tokoh adat Minangkabau. Bila pada masa lampau Sulawesi Selatan mengenal nama-nama besar seperti Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Patimang, dan Datuk Ri Tiro, kini semangat dakwah dan pembinaan umat tersebut diteruskan oleh H. Ferry Taslim, S.H., M.Hum., M.Si., yang dikenal pula dengan gelar adat Dt. Toembidjo.
Dt. Toembidjo merupakan tokoh adat asal Bukittinggi, Minangkabau, yang telah menjabat sebagai Ketua Presidium Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) selama dua periode di salah satu masjid paling viral dan menjadi ikon baru di Sulawesi Selatan. Masjid ini terletak strategis di jantung kota Makassar bagian selatan, tepatnya di depan Grha Pena, dan menjadi perbincangan hangat masyarakat baik secara lokal maupun di media sosial.
Masjid tersebut hadir sebagai lambang persatuan dan integrasi budaya empat suku besar di Sulawesi Selatan, yakni Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Secara arsitektural, bangunan masjid ini mengusung desain modern dengan sentuhan budaya lokal. Struktur utamanya menyerupai Kapal Phinisi, simbol ketangguhan masyarakat pesisir Sulsel. Kubah masjid mengadaptasi bentuk Songkok Recca (Bone) dan Patonro (Makassar), dengan dinding berhias Relief ukiran khas Toraja, serta Menara Syahadatain dengan ornamen Mandar yang kaya akan makna filosofis.
Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pembinaan rohani, penguatan ukhuwah, serta ruang sinergi antara insan kejaksaan dan masyarakat umum. Dalam pengelolaannya, Dt. Toembidjo yang juga menjabat sebagai Asisten Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) Kejaksaan Tinggi Sulsel, menekankan pentingnya nilai-nilai religius yang sejalan dengan penguatan karakter dan budaya bangsa.
Keberadaan masjid ini sekaligus menjadi bukti bahwa nilai-nilai adat, budaya, dan keislaman dapat berpadu dalam harmoni yang membangun peradaban. Sebagaimana dahulu penyebaran Islam di Sulsel diwarnai oleh sentuhan budaya Minangkabau, kini sejarah tersebut kembali dihidupkan dalam konteks kekinian oleh seorang Datuak yang memimpin dengan visi keumatan dan kebangsaan.
Tulis Komentar