Pelecehan Seksual di Kampus dan Upaya Pencegahannya

$rows[judul]

Oleh : Prof. Dr. Sukardi Weda, SS, M.Hum.
Guru Besar Universitas Negeri Makassar (UNM)

FILOSOFINEWS.COM, MAKASSAR - Belum berakhir kasus pabrik uang palsu (upal) di salah satu kampus negeri di Makassar yang menyita perhatian publik. Polisi-pun menetapkan 15 orang tersangka pada kasus upal, baik sebagai pembuat maupun sebagai pengedar, muncul lagi kasus lain yang juga mencederai dunia perguruan tinggi, yaitu kasus rudapaksa yang terjadi di salah satu kampus swasta di Makassar yang mulai ramai dibicarakan di media sosial hari ini. Pelaku yang juga pegawai di kampus swasta tersebut terbukti merudapaksa mahasiswi tempat ia bekerja dan kasus rudapaksa tersebut terungkap melaui CCTV kampus. Akibat perbuatannya, rektor-pun merekomendasikan kepada Yayasan untuk menonaktifkan pegawai tersebut seperti tercantum dalam surat rektor yang beredar di media sosial WhatsApp. Kejadian nir moral dan nir etika juga terjadi di kampus besar negeri sebelumnya yang beberapa hari menyedot perhatian publik dan netizen, dan pimpinan kampus-pun menyurat ke Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk merekomendasikan penonaktifan pelaku kekerasan seksual sebagai ASN. 

Kabar serupa juga terjadi di kampus swasta lainnya di Makassar, berupa penganiayaan dan perundungan yang dilakukan oleh senior kepada yuniornya dan hal ini sudah seringkali terjadi. Dengan googling di mesin pencari Google, kejadian serupa terjadi di pertengahan 2023 dan 2024.

Dengan rentetan kasus kekerasan seksual tersebut, publik dan netizenpun geram – marah, akibat ulah para pelaku dan predator seksual di lingkungan kampus, yang sejatinya menjadi model peran, contoh bagi mahasiswanya. Justru menjadi pelaku nir-moral dan nir-etika di tempat ia mengajar kepada mahasiswanya.

Kekerasan dan kejahatan seksual di lingkungan kampus acapkali terjadi, yang dilakukan oleh dosen kepada mahasiswanya, dosen kepada dosen, dosen kepada pegawai, dan mahasiswa kepada mahasiswa. Dan yang sering terjadi adalah kasus pelecehan seksual oleh dosen kepada mahasiswinya. Berdasarkan survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) pada tahun 2020, sebanyak 77 persen dosen mengaku tindak kekerasan seksual pernah terjadi di kampus, namun 63 persen kasus tidak dilaporkan (Bangun Santoso dan Lilis Varwati 2024).

Bila kita melakukan pencarian di mesin Google tentang kejahatan yang sering terjadi di lingkungan kampus, maka muncul frase sexual assault dan sexual abuse (pelecehan dan kekerasan seksual). Sehingga tidaklah berlebihan ketika kasus kejahatan dan kekerasan seksual yang menjadi momok menakutkan bagi mahasiswi karena dapat menimbulkan trauma mendalam yang berkepanjangan, disebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) karena seringnya terjadi, dan bagi korban perlu trauma healing (penyembuhan trauma).

American Psychological Association menyebutkan bahwa trauma adalah respons emosional korban terhadap peristiwa yang mengerikan. Korban bisa sangat terkejut dan penuh penolakan pada awalnya. Selain itu korban akan mengalami dampak jangka panjang, seperti emosi yang tidak terduga, perasaan tegang, gejala fisik, atau gejala aneh lainnya. Tidak jarang, bahkan gejala tersebut sangat mengganggu aktivitas keseharian para korban (R. Adinda, 2021). R. Adinda menambahkan bahwa trauma yang dialami seorang korban bisa menyebabkan post-traumatic stress disorder (PTSD). PTSD adalah bentuk gangguan kesehatan mental yang dialami seseorang setelah mengalami suatu kejadian yang menyebabkan trauma, seperti  kecelakaan, bencana alam, kekerasan dan pelecehan seksual, dan lain-lain. 

Kekerasan dan kejahatan seksual rupanya bukan hanya dialami oleh perguruan tinggi di Indonesia, tetapi juga hal yang sama terjadi sejumlah kampus di luar negeri. Amie Newman (2017) melaporkan bahwa tindak kekerasan seksual terus menjadi masalah serius di kalangan remaja berusia 18-24 tahun. Menurut Rape, Abuse & Incest National Network (RAINN), perempuan dalam kelompok usia 18 – 24 paling rentan mengalami pelecehan seksual dan kelompok umur ini biasanya mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi.  Terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, karena ada relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. Arifatul Choiri Fauzi, yang juga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengatakan kekerasan seksual masih terjadi di lingkungan kampus akibat adanya faktor relasi kuasa. Saifuddin (2023) mengatakan bahwa relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa menjadi faktor terbesar penyebab kekerasan seksual dan menurutnya sebanyak 63,4% kasus dilakukan dosen kepada mahasiswa. Saifuddin menambahkan bahwa tempat paling potensial terjadinya kekerasan seksual oleh dosen yaitu saat bimbingan skripsi. Nah, itu ada hubungannya dengan relasi kuasa. Kejadian serupa juga terjadi di tempat lain, seperti saat KKN, ruang kelas, Student Center, rumah sang dosen, hotel atau di dalam mobil. Pernah ada dosen menghubungi mahasiswa di atas jam 11.00 dan mengirim gambar tidak senonoh. Hal senada juga disampaikan oleh Budi Wahyuni, yang juga Pembina LBH APIK Yogyakarta, ia mengatakan korban kekerasan seksual seringkali tak berdaya. Relasi kuasa antara pelaku dengan korban menyebabkan korban tak mampu untuk menolak. Relasi kuasa muncul karena adanya hirarki struktural maupun sosial yang tidak sama. Akibat ketidaksetaraan itu yang menyebabkan seseorang tidak bisa mengambil keputusan secara independen (Budi Wahyuni, 2023). Pada posisi ini, mahasiswi berada pada posisi termarginalkan dan tidak dapat berbuat banyak, untuk menolak keinginan sang dosen predator seksual kepadanya. 

Atas seringnya terjadi kejahatan dan pelecehan seksual di lingkungan kampus, maka Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Tinggi (Kemdikbudristek) mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi. Hanya saja kasus pelecehan dan kekerasan seksual acapkali terjadi di lingkungan kampus, meskipun di kampus tersebut telah terbentuk Satuan Tugas (Satgas) PPKS. 

Dengan maraknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, maka perlu upaya pencegahan, seperti konsultasi mahasiswa dengan dosen pembimbing skripsi diadakan di ruang terbuka, bimbingan skripsi dilaksanakan pada hari dan jam kerja saja, bimbingan skripsi tidak boleh dilakukan di luar kampus, perlu pengadaan ruang konsultasi dan bimbingan tugas akhir (TA) atau skripsi yang didalamnya dapat menampung beberapa dosen dan mahasiswa. Tidak kalah pentingnya adalah melakukan edukasi pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi pada setiap kesempatan dan kegiatan, termasuk pada rapat – rapat pimpinan dan dosen, mengampanyekan tentang dampak buruk dari perbuatan kekerasan seksual melalui berbagai platform media sosial sebagai pengingat. Senada dengan ini, Komnas Perempuan (2020) juga merilis cara pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan dengan memaksimalkan edukasi melalui media, terkait dengan tema anti kekerasan pada kegiatan kampus di antaranya pada saat: Pada kegiatan PBAK, Pembekalan KKN dan PLP/PPL/PKL, Diskusi Konsorsium keilmuan, Pembinaan pegawai/karyawan, Melalui medsos, Iklan, banner, running teks, radio dan sebagainya. (*)

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)