Filosofinews.com., Takalar (10/08) — Di bawah cahaya lampu yang membias lembut pada tirai pelaminan, suasana malam di Lengkese terasa begitu sakral. Resepsi pernikahan Restu, putra sulung almarhumah Dg. Tino dan Kaharuddin Dg. Kio, berlangsung penuh khidmat dan hangat, menyatukan keluarga, sahabat, dan tokoh-tokoh dari berbagai unsur. Hadir pula sosok Dt. Mangkuto Alam, niniak mamak Minangkabau yang juga menantu dari keluarga besar Karaeng Lengkese, serta memperoleh paddaengang dari mertuanya, Daeng Serang.
Sejak malam mappacing pada Jumat malam, 8 Agustus 2025, rangkaian adat Bugis Makassar mengalun tanpa cela, diiringi senyum dan ramah tamah para tamu. Malam ini, Minggu 10 Agustus 2025, menjadi puncak dari perjalanan itu — sebuah malam di mana janji suci diikat, restu dipanjatkan, dan doa dipeluk erat dalam hening hati.
Tamu undangan yang hadir mewakili berbagai unsur: dari jajaran kepolisian, ASN, tokoh adat, tokoh masyarakat, hingga kerabat jauh yang datang dari berbagai penjuru. Harmoni antara adat, kekeluargaan, dan persaudaraan terpancar di setiap sudut ruangan. Orkes hiburan menambah semarak, namun tidak mengurangi rasa haru yang menyelimuti suasana.
Di tengah riuh tepuk tangan dan senyum kebahagiaan, Dt. Mangkuto Alam menyampaikan ungkapan yang merangkai malam itu menjadi untaian kata:
“Restu… malam ini bukan sekadar pesta, melainkan awal dari perjalanan yang akan kau ukir bersama pasanganmu. Jadikan rumah tanggamu seperti samudra yang tak pernah kering, di mana kesabaran menjadi pantainya, dan kepercayaan adalah pelabuhannya. Dan ingatlah, kebahagiaan sejati lahir dari hati yang tahu menjaga, bukan hanya memiliki.”
Disamping beliau., Daeng Kanang — istri dari Dt. Mangkuto Alam sekaligus sepupu dari almarhumah ibunda Restu — menyampaikan pesan yang membungkus malam itu dengan rasa haru mendalam:
“Restu… meski ibumu tak hadir di antara kita malam ini, percayalah ia hadir dalam setiap desir angin yang membelai pipimu. Ia adalah cahaya yang menuntun langkahmu, doa yang mengalir tanpa henti dari langit, dan harum kenangan yang tak pernah pudar. Ingatlah pepatah yang tak lekang oleh waktu: surga berada di bawah telapak kaki ibu. Maka hiduplah dengan cara yang membuat ibumu tersenyum di alamnya, dan jagalah istrimu dengan cinta yang sama, karena di pelukannya engkau akan menemukan rumah yang dijanjikan.”
Dan ketika malam merambat menuju tengahnya, janur kuning yang terikat di pelaminan seolah berbisik pada angin: inilah awal sebuah perjalanan. Lampu-lampu gantung memantulkan cahaya ke mata para tamu, seakan mematri setiap tawa dan air mata dalam bingkai waktu.
Restu dan pasangannya kini berdiri di gerbang hidup baru, membawa restu keluarga, doa yang mengalir tanpa putus, dan warisan kasih dari mereka yang hadir maupun yang telah tiada. Di kejauhan, bunyi orkes perlahan memudar, memberi ruang bagi gema doa yang menembus langit malam Takalar.
Malam itu, cinta bukan hanya milik dua insan yang baru bersanding — tetapi juga milik setiap hati yang pernah merasakan kehilangan, lalu belajar memeluk kembali dengan lebih erat. Sebab pernikahan, sebagaimana kehidupan, adalah tentang saling menggenggam, meski angin tak selalu bertiup dari arah yang sama.
Tulis Komentar