Oleh : Isnaini Al Ihsan., S.H., Dt. Mangkuto Alam
Dewan Pembina IKM Sapayuang - Sekretaris Jenderal IKASMIN-SS
Indonesia bukan hanya negeri yang kaya alam, tapi juga lautan budaya yang menawan. Di dalam keberagaman itu, Minangkabau berdiri sebagai salah satu penjuru adat yang kokoh—dengan falsafahnya yang tak lekang ditikam zaman. Keberadaan kebudayaan nasional tidak lahir di ruang hampa; ia dibidani oleh denyut kehidupan budaya lokal, yang masing-masing memiliki bentuk, karakter, dan ritme yang berbeda, namun semuanya memperkaya satu mozaik besar: budaya bangsa.
Di ranah Minangkabau, budaya bukan sekadar tontonan, tapi tuntunan. Salah satu manifestasi paling hidup dari budaya ini adalah sastra lisan—sebuah warisan yang diturunkan dari lidah ke lidah, dari dada ke dada, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tak sekadar seni, tapi juga strategi bertahan dalam nilai dan identitas. Sastra lisan Minangkabau meliputi banyak ragam: petatah-petitih, pituah, pantun, mantra, kaba, teka-teki, hingga syair. Namun satu yang menempati ruang istimewa dalam tatanan masyarakat: petatah-petitih.
Menurut Djamaris (2002:32), petatah-petitih adalah untaian kata yang sarat makna—dalam, halus, luas, dan penuh kias. Ia bukan sekadar peribahasa, tapi bagian dari “kato pusako,” kalimat pusaka yang memuat nilai adat dan spirit syariat. Ia menjadi rambu dan pagar dalam hidup orang Minang; sebab adat itu bukan sekadar tradisi, tapi cara pandang dan jalan pulang.
Nilai-nilai yang terkandung dalam petatah-petitih tidak bersifat ringan dan selintas. Ia bicara soal benar dan salah, adil dan tidak adil, pantas dan tercela. Kaelan (2000:174–175) menyebut nilai sebagai kualitas melekat yang memberi makna, bobot, dan arah pada sebuah objek atau tindakan. Maka menilai adalah menimbang, dan petatah-petitih adalah timbangan itu sendiri—mengajari kita membedakan antara hidup yang bermartabat dan hidup yang cuma ikut angin.
Salah satu contohnya adalah petatah berikut:
“Dikaji adat nan ampek itu pusako tanah Minang, nak tuah cari sapakaik, nak cilako buek-lah silang.”
Pesan yang terselip di balik kalimat ini tajam: bersatu itu keberkahan, berpecah itu kehancuran.
Cerdas, padat, dan jika direnungkan, menampar lembut kesadaran kolektif kita yang mulai lentur oleh kepentingan pribadi.
Adat Minangkabau: Berlapis-lapis, Berlapis Hikmah
Minangkabau mengenal empat lapis adat—sebuah sistem nilai yang mengatur dari tataran prinsip ilahiah hingga kebiasaan sehari-hari. Bukan sekadar urutan, tapi sistem hierarkis penuh filosofi:
1. Adat Nan Sabana Adat
Ini adalah adat yang paling sakral. Ia tidak datang dari musyawarah manusia, melainkan hasil pengamatan terhadap alam—yang dianggap sebagai ayat tak tertulis dari Tuhan.
“Adat nan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati.”
Ia abadi. Ia bukan produk zaman, tapi prinsip langit yang dibumi-kan. Maka tak heran, Minangkabau hidup dengan falsafah:
Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Syarak mangato, adat mamakai.
2. Adat Nan Diadatkan
Adat ini disusun oleh para datuk, tokoh perumus adat seperti Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Isinya lebih kepada sistem sosial: garis keturunan matrilineal, sistem pewarisan sako dan pusako, serta eksogami dalam perkawinan. Inilah kerangka sosiologis Minangkabau yang khas—yang kadang disalahpahami oleh yang tak sempat belajar, namun cepat mencibir.
3. Adat Nan Taradat
Adat ini fleksibel, adaptif, dan penuh pertimbangan lokal. Ia dilahirkan dari musyawarah, dirancang sesuai kebutuhan nagari. Maka disebut juga adat salingkuang nagari.
Sifatnya dinamis: Adat babuhua sentak — bisa diperbaiki, diperbarui, atau bahkan diganti, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai adat yang lebih tinggi.
Penerapannya bisa dilihat dalam upacara seperti batagak pangulu, turun mandi, dan sunat rasul.
4. Adat Istiadat
Inilah adat yang lahir dari kebiasaan. Ia bukan hukum, tapi bagian dari kehidupan sosial: permainan anak-anak, seni pertunjukan, kebiasaan muda-mudi. Meski tidak mengikat secara struktural, ia tetap menjadi bagian dari wajah Minangkabau—selama tidak bertentangan dengan adat nan taradat.
Penutup: Di Antara Kata, Tersimpan Amanah
Petatah-petitih bukan hanya aksesoris pidato atau penghias pesta adat. Ia adalah narasi bijak yang menyimpan roh adat dan ruh agama. Kata-katanya penuh perumpamaan dan kias, namun maksudnya tajam dan bernas. Seperti belati dalam balutan sutra: lembut dibaca, namun menusuk dalam tafsir.
Dalam zaman yang katanya serba cepat ini, jangan sampai kita jadi generasi yang kehilangan kata, kehilangan makna, lalu kehilangan arah. Kalau pusako tak diwarisi, maka generasi berikutnya hanya mewarisi tanah kosong.
Nak tuah cari sapakaik, nak cilako buek-lah silang.
Maka berhimpunlah, jangan silau oleh panggung-panggung baru yang hanya menjual gaduh tanpa gagasan.
Sebab adat Minangkabau bukan untuk diperdebatkan dalam seminar, tapi untuk dihidupi dalam laku.
Tulis Komentar